Home » » Kemunculan Ahok dan “Demokrasi Kera” (Krisis Moralitas Pilgub DKI 2017)

Kemunculan Ahok dan “Demokrasi Kera” (Krisis Moralitas Pilgub DKI 2017)

Kemunculan Ahok dan “Demokrasi Kera” (Krisis Moralitas Pilgub DKI 2017)
Kemunculan Ahok dan “Demokrasi Kera” (Krisis Moralitas Pilgub DKI 2017)


Kita harus ingat, bahwa pilihan jalan demokrasi mempunyai tiga makna, yakni demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi sebagai sistem politik dan demokrasi sebagai pandangan hidup (Moralitas).  Nurcholish Madjid pernah menyatakan bahwa demokrasi sebagai proses berisikan norma-norma Moral yang menjadi pandangan hidup bersama

Pilkada DKI Jakarta yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017 mendatang diwarnai krisis moralitas demokrasi yang cukup serius, hal ini dikarenakan munculnya nama salah satu kandidat, yakni Basuki Tjahaya Purnama Alias Ahok yang juga calon petahana dalam era kekuasaannya yang mengalami banyak masalah dan penyimpangan kebijakan maupun hukum.

Setidaknya ada tiga hal masalah yang dilakukan Ahok selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang sangat mencedarai moralitas demokrasi kita.

Pertama; Pemerintah pada tanggal 30 Juni 2016 melalui Komite Gabungan yang di pimpin Menko Kemaritiman waktu itu, DR. Rizal Ramli secara resmi membatalkan proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta karena dinilai melakukan pelanggaran berat dan membahayakan lingkungan hidup, lalu lintas laut serta proyek-proyek vital. 

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta tersebut izinnya dikeluarkan pada era Gubernur Ahok.

Kedua; Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas temuan kerugian Negara sebesar Rp 191,3 Miliar dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang merupakan keputusan final dan mengikat, bahkan sampai kiamat, begitu disampaikan Ketua BPK Harry Azhar Aziz.

Hal ini waktunya juga sama dengan izin Reklamasi, kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras terjadi pada era Gubernur Ahok.

Kemudian yang Ketiga; Hasil gelar perkara Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Mabes Polri) yang memutuskan meningkatkan kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke tingkat penyidikan dan Ahok ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Penistaan Agama (16/11/2016).

Ketiga keputusan diatas yang nota bene dikeluarkan oleh lembaga negara yang resmi mestinya menjadi salah satu tolak ukur dan evaluasi diri apakah seorang politisi secara moral cakap dan pantas mengajukan diri sebagai salah satu kandidat dalam sebuah pesta demokrasi yang sedang dan akan berlangsung.

Hal ini juga berlaku bagi partai pengusung Ahok yang seharusnya melihat rekam jejak Ahok selama menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta yang faktanya meninggalkan banyak jejak permasalahan yang cukup mengusik standart moralitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Selain keputusan resmi yang telah dikeluarkan oleh lembaga-lembaga Negara tersebut diatas, sebenarnya beberapa catatan ketidakpantasan dan ketidakcakapan Ahok sebagai Gubernur juga sudah dapat dilihat melalui gejala-gejala dan respon masyarakat terhadap kebijakan Gubernur Ahok, misalnya saja terkait kebijakan penggusuran yang tanpa ganti rugi memadai dan melibatkan banyak aparat keamanan, Gaya berbicara Ahok yang sangat kasar dan suka mengumpat, berbagai aksi demontrasi masyarakat menuntut penyelesaian kasus pembelian lahan Pemda DKI Jakarta di Cengkareng, pelaksanaan tender pengadaan bus Scania, pengelolaan dana off budget yang melanggar UU, aroma kongkalikong Gubernur Ahok dengan para pembisnis property di DKI Jakarta, dsb.

Sekian kasus dan catatan tersebut diatas mestinya jika mengedepankan moralitas politik dan menjujunjung tinggi norma-norma demokrasi yang sehat dan beradab, seorang Ahok sadar diri untuk tidak ikut dalam kontestasi pesta demokrasi, begitupun juga partai-partai politik semestinya sangat mempertimbangkan rekam jejak Ahok yang banyak bermasalah tersebut.

Khusus terkait status Ahok yang sekarang menjadi tersangka kasus penistaan Agama, memang secara hukum Pasal 191 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Seorang Pasangan calon yang sudah ditetapkan, tidak boleh mengundurkan diri, bahkan jika mengundurkan diri tanpa sebab yang jelas dapat dikenakan sanksi pidana.

Begitupun juga bagi partai pengusung, didalam Ayat (2) pasal 191 UU Pilkada juga menyebutkan jika parpol dan atau gabungan parpol dengan sengaja menarik pasangan calonnya yang sudah ditetapkan KPU maka pimpinan Parpol bisa dipidana dengan pidana penjara atau denda. Pasal 32 dalam Peraturan KPU (PKPU) No 12 Tahun 2015 juga mengatur tidak bolehnya partai politik yang sudah mendukung calon menarik dukungan dan memberikan kepada pasangan calon lain.

Beberapa peraturan perundang-undangan diatas memang dilema dan sangat mencederai kesucian berdemokrasi kita, bagaimana tidak moralitas demokrasi kita rusak dan cedera jika peraturannya saja tidak mengindahkan nilai-nilai moralitas itu sendiri. 

Seorang yang berstatus tersangka masih saja “Sah” secara hukum sebagai calon kandidat yang nota bene sebagai calon pemimpin. Untuk itu perlu terobosan hukum menjembatani permasalahan tersebut, misalnya perlu diterbitkan peraturan perundang-undangan yang dapat membatalkan pencalonan Basuki Ahok atau partai Politik menarik dukungannya.

Tentu jika kita bertanya pada hati nurani kita sendiri peraturan tersebut tidak sesuai dengan demokrasi sebagai pandangan hidup kita. karena proses demokrasi tanpa menjunjung tinggi moralitas politik hanyalah akan menghasilkan “Demokrasi Kera”

Contact Form