Home » , , » Abai dan Lambat Menyikapi Kasus Ahok, Berbahaya Untuk Jokowi, Berpotensi Untuk JK Dan Gatot

Abai dan Lambat Menyikapi Kasus Ahok, Berbahaya Untuk Jokowi, Berpotensi Untuk JK Dan Gatot


Analisis:

Tak dapat dipungkiri, Aksi bela Islam III super damai 2 Desember 2016 (212) di lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta kemaren merupakan aksi yang sangat menakjubkan dan diyakini telah menciptakan rekor sejarah aksi terbesar di Indonesia yang melibatkan lebih dari 7 juta manusia dan rekor Sholat Jum’at berjamaah terbesar dalam sejarah peradaban Islam dunia.
 
Kualitas aksi yang sangat baik dibanding dengan aksi Bela Islam I, Aksi Bela Islam II maupun aksi-aksi lainnya, baik dari segi kuantitas massa, kesejukan, keamanan, dan ketertibannya menunjukkan aksi bela Islam III menjadi salah satu jati diri bangsa yang sangat membanggakan.
 
Walaupun Aksi 212 membawa isu sensitif dan mendasar soal keyakinan, yakni menuntut penegakan hukum secara adil terhadap pelaku penistaan agama dengan "Menangkap dan Memenjarakan Ahok", namun dapat tampil dengan sejuk dan penuh kedamaian.
 
Sekarang kuncinya ada di pemerintahan Jokowi menyangkut soal kasus Ahok tersebut, jangan sampai tuntutan aksi tersebut disepelekan atau dianggap  angin lalu tanpa ada respon yang cepat dan tepat menyangkut substansi tuntutan umat.
 
Karena sangat mungkin jika pemerintahan Jokowi abai dan lambat, atau bahkan antiklimaks dalam menindaklanjuti aspirasi umat, maka berpotensi berubah jadi mimpi buruk “prahara politik” kekuasaan Jokowi maupun stabilitas Negara.
 
Aksi 212 sejatinya adalah warning (Peringatan) keras bagi pemerintahan Jokowi agar serius dan akomodatif menangkap substansi aspirasi umat dengan “Menangkap Ahok!”.
 
Dugaan pemerintahan Jokowi dan aparat penegak hukum selama ini tidak adil menyangkut kasus-kasus yang membelit Ahok memang sangat wajar dan harus cepat diluruskan dan dibuktikan oleh pemerintahan Jokowi dengan tindakan dan bukti nyata.
 
Seperti contohnya dalam setiap Kasus penistaan agama yang pernah terjadi di Republik ini biasanya aparat penegak hukum sangat sigap dan cepat menangkap dan mengadili si tersangka (Yurisprudensi), namun mengapa untuk Ahok tidak berlaku? atau mengapa untuk Ahok proses hukumnya sangat berbelit-belit?. Itulah pertanyaan substantif publik selama ini.
 
Jangan sampai umat mengalami akumulasi kekecewaan akibat aspirasi yang disepelekan dan tersumbat hingga muncul sesuatu yang tidak kita inginkan bersama, misalnya chaos (kekacauan).
 
Jika melihat heroikme jutaan umat Islam yang menuntut kasus penistaan agama oleh Ahok tersebut, maka tidak menutup kemungkinan, disamping aksi sejuk dan damai, potensi terjadinya Chaos juga sangat besar.

Tak khayal jika terjadi Chaos tentu Kekuasaan presiden Jokowi dan stabilitas Negara yang jadi taruhannya. Sangat mungkin kekuasaan presiden Jokowi ambruk jika Chaos itu bersifat massif dan besar. Wapres JK sesuai konstitusi akan mendaptkan keuntungan dari Chaos tersebut dengan menggantikan posisi presiden Jokowi paska ambruk.

Atau bisa saja jika kekacauan dalam skala yang lebih besar, meluas dan berkepanjangan, bahkan berubah menjadi konflik horizontal yang lebih besar dari 1998, maka sangat mungkin Jenderal Gatot Nurmantyo selaku panglima TNI bakal mengambil alih Negara dan menerapkan Darurat militer dengan dalih mengendalikan stabilitas keamanan negara.

Untuk itu, presiden Jokowi selaku pemimpin tertinggi di Republik ini harus lebih strategis cepat dan akomodatif  merespon tuntutan publik “Penjarakan Ahok” agar semuanya cepat selesai dan terkendali. dengan demikian pemerintahan Jokowi dapat kembali fokus menjalankan agenda-agenda Nawacita dan Revolusi Mental tanpa terbebani kasus Ahok tersebut.

Contact Form